Ikhlas Beramal
Oleh: Musta'in Zahruddin
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna diantara
makhluk-makhluk lain yang di ciptakan oleh Allah. Dalam bentuk yang sempurna
itulah manusia lebih unggul dibandingkan dengan makhluk lain, hal ini bukan
berarti manusia itu makhluk yang paling mulia dihadapan Allah. Karena yang
membedakan antara makhluk-makhluk-Nya adalah dari asfek ketaqwaannya kepada
Allah.
Manusia di ciptakan tak lain hanya bertujuan untuk beribadah
kepada Allah Swt, hal ini disinyalir dalam Al-Qur’an yang berbunyi: وما
خلقت الجنّ والإنس إلا ليعبدون Artinya: “tidaklah aku ciptakan jin dan
manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku”.
Ayat tersebut
memberikan penjelasan bahwa tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah
supaya beribadah kepada-Nya, akan tetapi ruang lingkup ibadah itu sendiri tak
cukup hanya melakukan ritualitas keagamaan semata yang bermuara kepada
melpaskan kewajiban sebagai Abdullah di muka bumi ini.
Hal lain yang perlu dan
musti kita lakukan dalam beribadah itu adalah diiringi dengan Niat/motivasi dan
penuh dengan keikhlasan kepada Allah Swt. Karena tolak ukur diterima atau
tidaknya suatu amal ibadah seseorang tergantung kepada motivasi/niatnya serta
diiringi dengan sifat yang ikhlas.
Begitu pentingnya sifat
ikhlas kita tumbuhkan dalam asfek peribadatan kepada Allah swt, ikhlas dalam
arti tidak mengharapkan apa-apa semata-mata karena Allah tidak diiringi harapan
ingin dipuji atau mendapat pembrian dari sesama makhluk.
Begitu banyak cendekian
muslim yang mendefinisikan tentang ikhlas, namun manusia tidak bisa mengukur
tentang keikhlasan seseorang karena hal ini menyangkut masalah hati. Sementara
hati hanya bisa dinilai oleh sang pencita hati yaitu Allah Swt, untuk lebih
lanjutnya masalah pembahsan ini akan dibahas pada bab yang akan datang.
BAB II
IKHLAS BERAMAL
A.
NIAT/MOTIVASI BERAMAL
عن أمير المؤمنين أبى
حفص عمربن الخطب بن نفيل بن عبد العزّى بن رياح بن عبد الله بن قرط بن رزاح بن
عديّ بن كعب بن لؤيِّ غالب القريشى العدويّ رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق على صحته(
Artinya
“Amir Al-Mu’min, Abu Hafs Umar Bin
Al-Khathtab r.a., bin Nufail, bin Abdul ‘Uzza, bin Riyah, bin Abdullah bin Qurt
bin Rajah, bin ‘Adliy, Ka’ab bin luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy,
dia bersabda, “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang
mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah
semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu
dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena
perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia
niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim)
1. Tinjauan Bahasa
Aktivitas yang mencakup ucapan dan
semua perbuatan, yang dilakukan oleh anggota badan
|
الأَعْمَالُ
|
Adalah lafadz jama النِّيَّة yakni secara bahasa artinya maksud.
|
النِّيَّات
|
Kata penguat (ta’qid), dan
untuk meringkas (taqshir)
|
إِنَّمَا
|
Seseorang, manusia
|
امْرِئٍ
|
Meninggalkan suatu tempat menuju ke
tempat lain
|
الهِجْرَة
|
Mendapatkan, mencapai
|
يُصِيبُ
|
2. Biografi Perawi
Umar bin Al-Khthtab
r.a, bin Nufail, bin Abdul ‘Uzza, bin Riyah, bin Abdullah bin Qurt bin Rajah,
bin ‘Adliy, Ka’ab bin luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy, adalah
khalifah kedua setelah Khalifah Abu Bakar.
Umar masuk Islam
setelah mendengar adiknya Fatimah membaca Al-Qur’an. Setelah ia masuk Islam,
umat Islam berani keluar dari rumah Arqam dan shalat dekat Ka’bah dengan di
jaga oleh shabat Umar dan Hamzah
Beliau menjabat
sebagai khalifah kurang lebih sepuluh tahun yakni dari tahun 13 H/634 M hinga
tahun 23 H/644 M. Pada masa menjabatnya banyak sekali negeri yang ditaklukkanya
hingga umat islam menguasai dari timur atas sebagian Persi sampai sungai jihon
(Amudariya), belahan utara atas Suriyah dan negeri Armenia, dan dari Barat
atas mesir[1]
Beliau juga merupakan
perawi hadits dari Rasulallah SAW. sebanyak 537 hadis, 26 diantaranya
disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Sebanyak 34 hadits oleh Bukhari sendiri
sementara 21 hadis oleh Muslim. Dalam penghujung usianya yang sudah relatip
tua, terjadilah pergolakan politik pertama kali dalam islam yang mengakibatkan
dirinya dibunuh pada usia 63 tahun.
3. Penjelasan Hadis
Hadis di atas
diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat
yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya
Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar
sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di
antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara
mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan
aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita
pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke
Madinah.
Menurut riwayat,
wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak
berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat
hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madinah. Atas dasar tersebut maka
laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun
motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah,
kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan
pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka
Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat,
sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[2]
Redaksi hadits
tersebut menunjukan bahwa segala sesuatu pekerjaan itu akan bernilai lebih
apabila diiringi dengan niat atau motivasi, karena tolak ukur yang akan
membedakan antara a’dat atau kebiasan pekerjaan sehari-hari dengan a’aml ibadah
terletak pada niatnya[3].
Hal itu terlihat pada penaukidan kata إِنَّمَا yang
menunjukan bahwa ada keharusan dalam aktivitas kita sehari-hari terlebih
apabila sifatnya ibadah didahului terlebih dahulu oleh niat/motivasi. Berkenaan
dengan Niat sebagian para ulama mendefinisikannya yang tertera dalam kitab Kasyipatussaja
sarah Syapinatunnaja[4]
sebagai berikut yang
النية هي قَصْدُ الشَيْئِ مُقْتَرَنًا
بِفَعْلِهِ
Artinya: “Niat adalah menyengajakan
berbuat sesuatu disertai dengan perbuatannya”
Ada
juga yang mendefinisikan dengan:
الإرادة المُتَوَجِّهَةُ نَحْوَ
الفِعْلِ لِابْتِغَاءِ رِضَااللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ
Artinya:
“keinginan yang ditujukan untuk
mengerjakan suatu perbuatan sambil mengharapkan ridha Allah SWT. dan menjalankan hokum-Nya)
Dari
definisi tersebut diatas dapat dpahami bahwa niat dilakukan pada permulaan
ketika mau berbuat sesuatu, dalam artian niat merupakan simbiosis antara
keinginan dan pekerjaan yang tak terpisahkan. Sementara itu juga, para ulama
sepakat bahwa letak niat adalah dalam hati.
Niat
merupakan bagian terpenting dalam amaliah yang tak terpisahkan dari Islam untuk
mengerjakan perintah syara’ atau anjuran yang bersumber dari Allah, Rasul,
Sahabat serta para Ulama untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. Niat juga
merupakan penentu nilai bobot, kualitas, serta hasil yang akan diperolehnya
nant.
Lebih
lanjut dalam hadits diatas menyatakan bahwa niat itu sangat erat hubungannya
dengan tujuan akhir, dalam arti kata bahwa niat yang kita lakukan pada
permulaan harus berkesinambungan dengan hasil akhirnya yaitu masih dalam
koridor yang baik pula tidak ada perubahan “setiap
orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya”.
Gamabaran
selanjutnya mengenai niat orang yang berhijrah dengan harapan
mendapatkan keuntungan materi atau keuntungan dunia dan ingin menikahi seseorang
wanita, maka ia tidak akan mendapatkan imbalan apa-apa dari Allah SWT.
terkecuali mendapatkan sesuai dengan apa yang ia harapkan (wanita yang hendak
ia nikahi). Begitupun jika niatnya mengharapkan tahta maka iapun akan
mendaptkan tahta saja tanpa adanya imbalan yang bentuknya ganjaran dari Allah
SWT. Akan tetapi jika sebaliknya, kalau hijrahnya orang tersebut karena Allah
dan Rasulnya, maka ia akan mendapatkan ganjaran bahkan keuntungan dunia dan materi
pun akan diraihnya.
Berdasarkan kronologis
wurudnya hadis ini, hijrah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hijrah Nabi
saw. secara khusus bersama kaum muslimin meninggalkan kota Mekah menuju kota
Madinah. Peristiwa tersebut terjadi karena Nabi saw. dan para sahabat yang ikut
bersama beliau berkeinginan untuk menyelamatkan missi dan dakwah Islam yang
setiap saat mendapat ronrongan dari kaum kuffar dan bahkan berkeinginan
untuk menghalanginya gerak perkembangannya. Namun pada konteks saat ini
hijrah lebih tepat diartikan berpindah dari kemunkaran atau kebatilan kepada
kebenaran.[5]
Niat atau motivasi
merupakan alat ukur terhadap amaliyah seseorang untuk diterima atau tidaknya
oleh Allah SWT. niat juga bagian terpenting dalam ibadah umpamanya shalat dan
zakat yang salah satu rukunnya adalah niat. Niat juga harus betul-betul
dilaksanakan secara ikhlas, untuk mendapatkan ridha Allah semata tanpa ada harapan
selain-Nya, hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:
وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
Artinya:
“Tiadalah mereka diperintah, kecuali
untuk menyembah kepada Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama, lurus, dan
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat. Itulah agama yang lurus (QS.
Al-Bayyinah: 5)
Dalam konteks ayat
tersebut menjelaskan bahwa ikhlas merupakan tolak ukur dalam menjalankan ibadah
kepada Allah, baik itu dalam konteks ibadah secara langsung (mahdhah) seperti
shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain maupun
bentuk-bentuk kegiatan yang diniatkan ibadah tidak langsung (ghaeru
mahdah) niat sebagai rukun pertama dalam segala rangkaiannya. Apapun
yang mendasari dilakukannya sebuah aktifitas, maka itu pula yang menjadi
penilaian di sisi Allah swt.
Ikhlas
merupakan akar kata dari Akhlasha yukhlishu ikhlashan yang berarti
bersih, jernih. Mengerjakan dengan ikhlas berarti melakukan sesuatu tanpa rasa
pamer atau pamrih[6],
yang tak tercampuri oleh keingianan apaun selain mengharapkan ridha dari Allah
SWT.
Sementara dlam
kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai
berikut:
اَلإخْلاصُ : أنْ
يَقْصُدَ الاْءِنْسَانُ بِقَوْلِهِ وَعَمَلِهِ وَجِهَادِهِ وَجْهَ اللهِ
وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِهِ مِنْ غَيِْر نَظْرٍ اِلىَ مَغْنَم أَوْجَاهٍ اَوْ لَقْبٍ
اَوْمَظْهَرٍ اَوْ تَقَدُّمٍ اَوْ تَأَجٍُّر لِيَرْتَفِعَ الْمَرْءُ عَنْ
نَقَائِِص اْلأَعْمَالِ وَرَذَائِِل اْلأَخْلاَقِ وَيَتَّصِلُ مُبَاشَرَةًً
بِاللهِ.
Artinya:
“Ikhlas adalah bahwa manusia
semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan
jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian,
superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal
dan akhlak tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Niat pada prinsipnya
adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati
masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat
seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui
yang tampak maupun yang tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati.
Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang baik, Allah pasti mengetahuinya, dan
demikian pula sebaliknya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. befirman dalam
QS. Ali Imran (3): 29:
قُلْ إِنْ تُخْفُوا
مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٩)
Artniya. Katakanlah: "Jika kamu
Menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah
Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang
ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Meskipun niat merupakan
sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya sebagai prioritas
penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan
penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun
tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan
pentingnya aspek niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَمْرٌو
النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ
يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.(رواه مسلم(
Artinya:
‘Amru al-Naqid telah menceritakan
kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin
Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu
Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. tidak
melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam
hatimu. (H.R. Muslim)
Hal-hal yang bersifat
materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan dunia menodai
hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal
shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa
saja mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala
akhirat tidak diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam
perbuatannya.
Berdasarkan ayat di
atas, tampak dengan sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan kebajikan
karena memburu kepentingan duniawi belaka, maka amalan yang diperbuatnya tidak
lebih dari fatamorgana yang secara sepintas menjanjikan kebahagiaan, tapi pada
hakikatnya hanya baying-bayang semua yang akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh
sebab itu, bukanlah suatu yang mustahil jika seseorang dalam hidupnya di dunia
banyak melakukan kebaikan tapi tidak secara ikhlas, namun di akhirat tidak
menemukan yang menjadi dambaannya.
4. Fiqih Al-Hadis
Segala bentuk amal
yang diperbuat dinilai oleh Allah swt. berdasarkan niat yang mendasari
perbuatan tersebut. Dua orang yang melakukan satu perbuatan yang sama, bisa
saja mendapat pahala yang berbeda sesuai tingkat keihklasan masing-masing dari
kedua orang tersebut.
Hijrah sebagai salah
satu bentuk amal yang mempunyai nilai perjuangan yang sangat istimewa,
pelakunya bisa saja tidak mendapatkan nilai hijrah jika hal itu dilakukan
dengan motif duniawi semata dan hanya ingin mendapat popularitas dan
penghargaan dari manusia. Oleh sebab itu, dalam Islam, niat dan motif yang
melatar belakangi dilakukannya suatu perbuatan sangat menentukan diterima atau
tidaknya nya suatu perbuatan (ibadah). Allah swt. hanya menerima amal ibadah
yang didasari keikhlasan dan semata-mata mengharap ridha-Nya.
B.
MENJAUHI PERBUATAN YANG RIYA/SYIRIK KECIL
قَالَ عَبْد اللَّهِ
وَجَدْتُ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّهِ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي
عَمْرٍو عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ،
قَالَ: الرِّيَاءُ. إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ
بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي
الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً. (أخرجه أحمد بإسند حسن(
Artinya:
'Abdullah berkata, aku menemukan hadis
ini dalam kitab ayahku yang ia tulis dengan tangannya sendiri, Ishaq bin 'Iysa
telah menceritakan kepada kami, 'Abd al-Rahman bin Abi al-Zanadi telah
menceritakan kepada kami, dari 'Amri bin Abi 'Amri, dari 'Ashim bin 'Umar bin
Qatadah, dari Mahmud Bin Lubaid bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
"Sesuatu yang paling aku khawatirkan di antara kamu adalah syirik kecil.
Para sahabat bertanya, apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah saw.
menjawab: yaitu riya'. Allah swt. berfirman pada hari amal hamba-hamba dibalas:
pergilah kepada orang yang kalian pernah riya melakukan amal di dunia karena
orang tersebut, lalu lihatlah apakah mereka memberi balasan?” (H.R. Ahmad
dengan sanad hasan)
1. Penjelasan Singkat
Riya berasal dari kata
رَأَي yang arti dasarnya adalah
(melihat). Riya dalam bentuk mashdarnya berarti“ tindakan memperlihatkan
atau hanya berpura-pura (agar dikata berbuat baik”[7].
Riya dalam pengertian istilah syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat
menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan
untuk mendapat perhatian orang, baik untuk tujuan popularitas, mendapat pujian,
atau motif-motif selain karena Allah swt.
Riya merupakan suatu
kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur
riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang
nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari
oleh unsur riya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif
ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat
bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam hadis yang disebutkan di atas
menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut karena dia
melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya,
tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai
mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak
lagi ikhlas karena Allah swt.
Sementara itu Abu
Ishaq[8]
membagi ibadah yang tercampuri oleh riya’dengan tiga (3) keadaan:
1. Yang menjadi motivator dilakukannya
ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya’ seperti misalnya seorang yang
melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang
shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari
Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.
2. Riya tersebut muncul di tengah
pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan
pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersit lah riya’. Yang
seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:
a. Jika bagian akhir ibadah tersebut
tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah
yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal.
b. Jika bagian akhir ibadah tersebut
terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya maka hal ini juga terbagi dalam
dua keadaan:
- Kalau pelakunya melawan riya’
tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh
untuk tetap ikhlash sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan
berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah
sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku
akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau
diucapkan.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah)
- Pelakunya tidak berusaha melawan
riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di
3. Riya tersebut muncul setelah ibadah
itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama
sekali terhadap ibadahnya tadi.
Riya
merupakan kebalikan dari sifat ikhlas, yang merusak ganjaran ibadah kita kepada
Allah dan berdampak akan sia-sianya perbuatan amal ibadah kita karena tidak ada
nilai yang dapat kita hasilkan terkecuali hanya mengharapkan pujian dan ingin
dilihat oleh orang lain semata.
2. Fikih Al-Hadits
Riya
adalah perbuatan atau tindakan peribadahan yang tidak didasri oleh keikhlasan,
namun ada motif ingin dilihat atau dipuji oleh orang lain. Hal ini akan sangat
merugikan bagi pelakunya, karena tidak akan mendapatkan apa-apa bahkan merusak
amal ibadahnya itu sendiri. Perbuatan riya dapat dikategorikan sebagai
perbuatan syryk kecil karena melakukan amal iabadah bukan didasari
karena Allah. Hal ini jangan sampai membuat kita enggan untuk beribadah kepada
Allah, namun kita harus berusaha menghilangkan perbuatan riya dan menumbuhkan
sifat ikhlas dalam beribadah kepada Allah Swt.
BAB III
KESIMPULAN
Ibadah merupakan
perintah Allah dan Rasul untuk membuktikan seberapa besar keta’atan kita
sebagai Abdullah. Ibadah sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah yang
telah memberikan kita penghidupan, sebagai rasa syukur kita maka sudah
semestinya kita melakukan amal perbuatan didasari keikhlasan. Ikhlas merupakan
tolak ukur ibadah kita kepada Allah, diterima atau tidaknya suatu ibadah
tergantung niat yang didasari sifat ikhlas
Sifat ikhlas harus
kita tanamkan dalam berbagai asfek peribadahan kepada Allah Swt, karena ini
merupakan acuan suatu ibadah untuk diterima atau tidaknya. Ikhlas merupakan
sifat yang tidak bisa dinilai oleh orang lain, karena ini merupakan perbuatan
yang menyangkut niat atau motivasi seseorang dalam beribadah. Ikhlas adalah
perbuatan yang tanpa mengharapkan apa-apa terkecuali hanya ridha dan ganjaran
dari Allah semata.
Sementara lawan
daripada ikhlas itu sendiri adalah riya, yang artinya melakukan
tindakan atau perbuatan amal ibadah dengan motiv ingin dilihat atau dipuji oleh
orang lain. Dalam artian tidak didasari karena Allah melainkan ada harapan-harapan
selain-Nya, riya juga dikategorikan sebagai perbuatan syrik kecil.
Dua sifat tersebut
diatas antara ikhlas dan riya merupakan sifat yang bertolak belakang namun kita
jangan sampai tidak melaksankan ibadah kepada Allah karena takut dikategorikan
sebagai riya. Menumbuhkan sifat ikhlas memang sulit bagi kita, namun tak ada
salahnya jika kita berusaha untuk menumbuhkan sifat ikhlas dalam berbagai asfek
peribadahan dan menghilangkan sifat riya demi terciptanya ibadah yang
berkualitas dan mendapatkan ganjaran serta ridha dari Allah Swt.
DAFTARA PUSTAKA
A W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya:
Pustaka Progresif)
Forum Komunikasi ITB salafyitb.wordpress.com/2007/01/04/riya-datangsetelah-amal-selesai
Muhyiddin Abi Zakariya, Al-Azka.r Indonesia:
Daru Ihya Al-Kutub
Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial
dan Hukum), (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Syekh M. Nawawi, Syapinatunnaja, Surabaya Indonesia:
Maktabah Muhammad Ibn Ahamd Nibhan Waauladihi
[1]
Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Bandung:
Pustaka Setia, 2000) hal 55
[2]
Ibid
hal 56
[3] Syekh A’bdul Mu’ty, ketika menyajikan
perkuliyahan di UIN SGD pada kelas reguler jur PBA menyatakan dalam kalimat
bahasa Arab yaitu النية تفرق بين العادة والعبادة
[4]
Syekh
M. Nawawi hal 19
[5]
Ibid hal 57
[6]
A.W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka
Progresif) Hal 359 th 2002
[7]
Ibid hal 461
Tidak ada komentar:
Posting Komentar