Rabu, 09 November 2011

Ikhlas Beramal


Ikhlas Beramal
Oleh: Musta'in Zahruddin
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk lain yang di ciptakan oleh Allah. Dalam bentuk yang sempurna itulah manusia lebih unggul dibandingkan dengan makhluk lain, hal ini bukan berarti manusia itu makhluk yang paling mulia dihadapan Allah. Karena yang membedakan antara makhluk-makhluk-Nya adalah dari asfek ketaqwaannya kepada Allah.
Manusia di ciptakan tak lain hanya bertujuan untuk beribadah kepada Allah Swt, hal ini disinyalir dalam Al-Qur’an yang berbunyi: وما خلقت الجنّ والإنس إلا ليعبدون Artinya: “tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku”.
Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah supaya beribadah kepada-Nya, akan tetapi ruang lingkup ibadah itu sendiri tak cukup hanya melakukan ritualitas keagamaan semata yang bermuara kepada melpaskan kewajiban sebagai Abdullah di muka bumi ini.
Hal lain yang perlu dan musti kita lakukan dalam beribadah itu adalah diiringi dengan Niat/motivasi dan penuh dengan keikhlasan kepada Allah Swt. Karena tolak ukur diterima atau tidaknya suatu amal ibadah seseorang tergantung kepada motivasi/niatnya serta diiringi dengan sifat yang ikhlas.
Begitu pentingnya sifat ikhlas kita tumbuhkan dalam asfek peribadatan kepada Allah swt, ikhlas dalam arti tidak mengharapkan apa-apa semata-mata karena Allah tidak diiringi harapan ingin dipuji atau mendapat pembrian dari sesama makhluk.
Begitu banyak cendekian muslim yang mendefinisikan tentang ikhlas, namun manusia tidak bisa mengukur tentang keikhlasan seseorang karena hal ini menyangkut masalah hati. Sementara hati hanya bisa dinilai oleh sang pencita hati yaitu Allah Swt, untuk lebih lanjutnya masalah pembahsan ini akan dibahas pada bab yang akan datang.
BAB II
IKHLAS BERAMAL
A. NIAT/MOTIVASI BERAMAL
عن أمير المؤمنين أبى حفص عمربن الخطب بن نفيل بن عبد العزّى بن رياح بن عبد الله بن قرط بن رزاح بن عديّ بن كعب بن لؤيِّ غالب القريشى العدويّ رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق على صحته(
Artinya
“Amir Al-Mu’min, Abu Hafs Umar Bin Al-Khathtab r.a., bin Nufail, bin Abdul ‘Uzza, bin Riyah, bin Abdullah bin Qurt bin Rajah, bin ‘Adliy, Ka’ab bin luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy, dia bersabda, “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim)
1. Tinjauan Bahasa
Aktivitas yang mencakup ucapan dan semua perbuatan, yang dilakukan oleh anggota badan
الأَعْمَالُ
Adalah lafadz jama النِّيَّة yakni secara bahasa artinya maksud.
النِّيَّات
Kata penguat (ta’qid), dan untuk meringkas (taqshir)
إِنَّمَا
Seseorang, manusia
امْرِئٍ
Meninggalkan suatu tempat menuju ke tempat lain
الهِجْرَة
Mendapatkan, mencapai
يُصِيبُ

2. Biografi Perawi
Umar bin Al-Khthtab r.a, bin Nufail, bin Abdul ‘Uzza, bin Riyah, bin Abdullah bin Qurt bin Rajah, bin ‘Adliy, Ka’ab bin luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy, adalah khalifah kedua setelah Khalifah Abu Bakar.
Umar masuk Islam setelah mendengar adiknya Fatimah membaca Al-Qur’an. Setelah ia masuk Islam, umat Islam berani keluar dari rumah Arqam dan shalat dekat Ka’bah dengan di jaga oleh shabat Umar dan Hamzah
Beliau menjabat sebagai khalifah kurang lebih sepuluh tahun yakni dari tahun 13 H/634 M hinga tahun 23 H/644 M. Pada masa menjabatnya banyak sekali negeri yang ditaklukkanya hingga umat islam menguasai dari timur atas sebagian Persi sampai sungai jihon (Amudariya), belahan utara atas Suriyah dan negeri Armenia, dan dari Barat atas mesir[1]
Beliau juga merupakan perawi hadits dari Rasulallah SAW. sebanyak 537 hadis, 26 diantaranya disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Sebanyak 34 hadits oleh Bukhari sendiri sementara 21 hadis oleh Muslim. Dalam penghujung usianya yang sudah relatip tua, terjadilah pergolakan politik pertama kali dalam islam yang mengakibatkan dirinya dibunuh pada usia 63 tahun.
3. Penjelasan Hadis
Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah.
Menurut riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madinah. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[2]
Redaksi hadits tersebut menunjukan bahwa segala sesuatu pekerjaan itu akan bernilai lebih apabila diiringi dengan niat atau motivasi, karena tolak ukur yang akan membedakan antara a’dat atau kebiasan pekerjaan sehari-hari dengan a’aml ibadah terletak pada niatnya[3]. Hal itu terlihat pada penaukidan kata  إِنَّمَا yang menunjukan bahwa ada keharusan dalam aktivitas kita sehari-hari terlebih apabila sifatnya ibadah didahului terlebih dahulu oleh niat/motivasi. Berkenaan dengan Niat sebagian para ulama mendefinisikannya yang tertera dalam kitab Kasyipatussaja sarah Syapinatunnaja[4] sebagai berikut yang
النية هي قَصْدُ الشَيْئِ مُقْتَرَنًا بِفَعْلِهِ
Artinya: “Niat adalah menyengajakan berbuat sesuatu disertai dengan perbuatannya”
            Ada juga yang mendefinisikan dengan:
الإرادة المُتَوَجِّهَةُ نَحْوَ الفِعْلِ لِابْتِغَاءِ رِضَااللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ 
Artinya:
“keinginan yang ditujukan untuk mengerjakan suatu perbuatan sambil mengharapkan ridha Allah SWT.  dan menjalankan hokum-Nya)
            Dari definisi tersebut diatas dapat dpahami bahwa niat dilakukan pada permulaan ketika mau berbuat sesuatu, dalam artian niat merupakan simbiosis antara keinginan dan pekerjaan yang tak terpisahkan. Sementara itu juga, para ulama sepakat bahwa letak niat adalah dalam hati.
            Niat merupakan bagian terpenting dalam amaliah yang tak terpisahkan dari Islam untuk mengerjakan perintah syara’ atau anjuran yang bersumber dari Allah, Rasul, Sahabat serta para Ulama untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. Niat juga merupakan penentu nilai bobot, kualitas, serta hasil yang akan diperolehnya nant.
            Lebih lanjut dalam hadits diatas menyatakan bahwa niat itu sangat erat hubungannya dengan tujuan akhir, dalam arti kata bahwa niat yang kita lakukan pada permulaan harus berkesinambungan dengan hasil akhirnya yaitu masih dalam koridor yang baik pula tidak ada perubahan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya”.
            Gamabaran selanjutnya mengenai niat orang yang berhijrah dengan harapan mendapatkan keuntungan materi atau keuntungan dunia dan ingin menikahi seseorang wanita, maka ia tidak akan mendapatkan imbalan apa-apa dari Allah SWT. terkecuali mendapatkan sesuai dengan apa yang ia harapkan (wanita yang hendak ia nikahi). Begitupun jika niatnya mengharapkan tahta maka iapun akan mendaptkan tahta saja tanpa adanya imbalan yang bentuknya ganjaran dari Allah SWT. Akan tetapi jika sebaliknya, kalau hijrahnya orang tersebut karena Allah dan Rasulnya, maka ia akan mendapatkan ganjaran bahkan keuntungan dunia dan materi pun akan diraihnya.
Berdasarkan kronologis wurudnya hadis ini, hijrah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hijrah Nabi saw. secara khusus bersama kaum muslimin meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah. Peristiwa tersebut terjadi karena Nabi saw. dan para sahabat yang ikut bersama beliau berkeinginan untuk menyelamatkan missi dan dakwah Islam yang setiap saat mendapat ronrongan dari kaum kuffar dan bahkan berkeinginan untuk menghalanginya gerak perkembangannya. Namun pada konteks saat ini hijrah lebih tepat diartikan berpindah dari kemunkaran atau kebatilan kepada kebenaran.[5]
Niat atau motivasi merupakan alat ukur terhadap amaliyah seseorang untuk diterima atau tidaknya oleh Allah SWT. niat juga bagian terpenting dalam ibadah umpamanya shalat dan zakat yang salah satu rukunnya adalah niat. Niat juga harus betul-betul dilaksanakan secara ikhlas, untuk mendapatkan ridha Allah semata tanpa ada harapan selain-Nya, hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
Artinya:
“Tiadalah mereka diperintah, kecuali untuk menyembah kepada Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama, lurus, dan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat. Itulah agama yang lurus (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dalam konteks ayat tersebut menjelaskan bahwa ikhlas merupakan tolak ukur dalam menjalankan ibadah kepada Allah, baik itu dalam konteks ibadah secara langsung (mahdhah) seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain maupun bentuk-bentuk kegiatan yang diniatkan ibadah tidak langsung (ghaeru mahdah) niat sebagai rukun pertama dalam segala rangkaiannya. Apapun yang mendasari dilakukannya sebuah aktifitas, maka itu pula yang menjadi penilaian di sisi Allah swt.
            Ikhlas merupakan akar kata dari Akhlasha yukhlishu ikhlashan yang berarti bersih, jernih. Mengerjakan dengan ikhlas berarti melakukan sesuatu tanpa rasa pamer atau pamrih[6], yang tak tercampuri oleh keingianan apaun selain mengharapkan ridha dari Allah SWT.
Sementara dlam kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:
اَلإخْلاصُ : أنْ يَقْصُدَ الاْءِنْسَانُ بِقَوْلِهِ وَعَمَلِهِ وَجِهَادِهِ وَجْهَ اللهِ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِهِ مِنْ غَيِْر نَظْرٍ اِلىَ مَغْنَم أَوْجَاهٍ اَوْ لَقْبٍ اَوْمَظْهَرٍ اَوْ تَقَدُّمٍ اَوْ تَأَجٍُّر لِيَرْتَفِعَ الْمَرْءُ عَنْ نَقَائِِص اْلأَعْمَالِ وَرَذَائِِل اْلأَخْلاَقِ وَيَتَّصِلُ مُبَاشَرَةًً بِاللهِ.
Artinya:
“Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela, sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Niat bersemayam di dalam hati masing-masing orang. Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang menjadi niat seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi. atau motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya. Sehubungan dengan hal ini Allah swt. befirman dalam QS. Ali Imran (3): 29:
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٩)
Artniya. Katakanlah: "Jika kamu Menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah swt. menjadikannya sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun tidak tampak bagi manusia, tapi ia tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek niat, Nabi saw,. bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.(رواه مسلم(
Artinya:
‘Amru al-Naqid telah menceritakan kepada kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Burqan telah menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R. Muslim)
Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang. Adakalanya kepentingan dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah manusia. Seeorang yang melakukan amal shaleh tetapi diselubungi dengan kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak diperolehnya karena tidak disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya.
Berdasarkan ayat di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa seseorang yang melakukan kebajikan karena memburu kepentingan duniawi belaka, maka amalan yang diperbuatnya tidak lebih dari fatamorgana yang secara sepintas menjanjikan kebahagiaan, tapi pada hakikatnya hanya baying-bayang semua yang akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh sebab itu, bukanlah suatu yang mustahil jika seseorang dalam hidupnya di dunia banyak melakukan kebaikan tapi tidak secara ikhlas, namun di akhirat tidak menemukan yang menjadi dambaannya.

4. Fiqih Al-Hadis
Segala bentuk amal yang diperbuat dinilai oleh Allah swt. berdasarkan niat yang mendasari perbuatan tersebut. Dua orang yang melakukan satu perbuatan yang sama, bisa saja mendapat pahala yang berbeda sesuai tingkat keihklasan masing-masing dari kedua orang tersebut.
Hijrah sebagai salah satu bentuk amal yang mempunyai nilai perjuangan yang sangat istimewa, pelakunya bisa saja tidak mendapatkan nilai hijrah jika hal itu dilakukan dengan motif duniawi semata dan hanya ingin mendapat popularitas dan penghargaan dari manusia. Oleh sebab itu, dalam Islam, niat dan motif yang melatar belakangi dilakukannya suatu perbuatan sangat menentukan diterima atau tidaknya nya suatu perbuatan (ibadah). Allah swt. hanya menerima amal ibadah yang didasari keikhlasan dan semata-mata mengharap ridha-Nya.

B. MENJAUHI PERBUATAN YANG RIYA/SYIRIK KECIL
قَالَ عَبْد اللَّهِ وَجَدْتُ هَذَا الْحَدِيثَ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّهِ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالَ: الرِّيَاءُ. إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً. (أخرجه أحمد بإسند حسن(
Artinya:
'Abdullah berkata, aku menemukan hadis ini dalam kitab ayahku yang ia tulis dengan tangannya sendiri, Ishaq bin 'Iysa telah menceritakan kepada kami, 'Abd al-Rahman bin Abi al-Zanadi telah menceritakan kepada kami, dari 'Amri bin Abi 'Amri, dari 'Ashim bin 'Umar bin Qatadah, dari Mahmud Bin Lubaid bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Sesuatu yang paling aku khawatirkan di antara kamu adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: yaitu riya'. Allah swt. berfirman pada hari amal hamba-hamba dibalas: pergilah kepada orang yang kalian pernah riya melakukan amal di dunia karena orang tersebut, lalu lihatlah apakah mereka memberi balasan?” (H.R. Ahmad dengan sanad hasan)
1. Penjelasan Singkat
Riya berasal dari kata رَأَي  yang arti dasarnya adalah (melihat). Riya dalam bentuk mashdarnya berarti“ tindakan memperlihatkan atau hanya berpura-pura (agar dikata berbuat baik”[7]. Riya dalam pengertian istilah syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan untuk mendapat perhatian orang, baik untuk tujuan popularitas, mendapat pujian, atau motif-motif selain karena Allah swt.
Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka otomastis keikhlasan akan berkurang nilainya, dan bahkan bisa hilang sama sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya tidak akan mendapat pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw. dalam hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik kecil. Hal tersebut karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam ibadah yang dilakukannya, tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah, sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.
Sementara itu Abu Ishaq[8] membagi ibadah yang tercampuri oleh riya’dengan tiga (3) keadaan:
1. Yang menjadi motivator dilakukannya ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya’ seperti misalnya seorang yang melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.
2. Riya tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersit lah riya’. Yang seperti ini maka terbagi dalam dua kondisi:
a. Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal.
b. Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya maka hal ini juga terbagi dalam dua keadaan:
- Kalau pelakunya melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak ingin terbuai serta berusaha bersungguh-sungguh untuk tetap ikhlash sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku akan apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah)
- Pelakunya tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di
3. Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.
            Riya merupakan kebalikan dari sifat ikhlas, yang merusak ganjaran ibadah kita kepada Allah dan berdampak akan sia-sianya perbuatan amal ibadah kita karena tidak ada nilai yang dapat kita hasilkan terkecuali hanya mengharapkan pujian dan ingin dilihat oleh orang lain semata.
2. Fikih Al-Hadits
            Riya adalah perbuatan atau tindakan peribadahan yang tidak didasri oleh keikhlasan, namun ada motif ingin dilihat atau dipuji oleh orang lain. Hal ini akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena tidak akan mendapatkan apa-apa bahkan merusak amal ibadahnya itu sendiri. Perbuatan riya dapat dikategorikan sebagai perbuatan syryk kecil karena melakukan amal iabadah bukan didasari karena Allah. Hal ini jangan sampai membuat kita enggan untuk beribadah kepada Allah, namun kita harus berusaha menghilangkan perbuatan riya dan menumbuhkan sifat ikhlas dalam beribadah kepada Allah Swt.



BAB III
KESIMPULAN
Ibadah merupakan perintah Allah dan Rasul untuk membuktikan seberapa besar keta’atan kita sebagai Abdullah. Ibadah sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah yang telah memberikan kita penghidupan, sebagai rasa syukur kita maka sudah semestinya kita melakukan amal perbuatan didasari keikhlasan. Ikhlas merupakan tolak ukur ibadah kita kepada Allah, diterima atau tidaknya suatu ibadah tergantung niat yang didasari sifat ikhlas
Sifat ikhlas harus kita tanamkan dalam berbagai asfek peribadahan kepada Allah Swt, karena ini merupakan acuan suatu ibadah untuk diterima atau tidaknya. Ikhlas merupakan sifat yang tidak bisa dinilai oleh orang lain, karena ini merupakan perbuatan yang menyangkut niat atau motivasi seseorang dalam beribadah. Ikhlas adalah perbuatan yang tanpa mengharapkan apa-apa terkecuali hanya ridha dan ganjaran dari Allah semata.
Sementara lawan daripada ikhlas itu sendiri adalah riya, yang artinya melakukan tindakan atau perbuatan amal ibadah dengan motiv ingin dilihat atau dipuji oleh orang lain. Dalam artian tidak didasari karena Allah melainkan ada harapan-harapan selain-Nya, riya juga dikategorikan sebagai perbuatan syrik kecil.
Dua sifat tersebut diatas antara ikhlas dan riya merupakan sifat yang bertolak belakang namun kita jangan sampai tidak melaksankan ibadah kepada Allah karena takut dikategorikan sebagai riya. Menumbuhkan sifat ikhlas memang sulit bagi kita, namun tak ada salahnya jika kita berusaha untuk menumbuhkan sifat ikhlas dalam berbagai asfek peribadahan dan menghilangkan sifat riya demi terciptanya ibadah yang berkualitas dan mendapatkan ganjaran serta ridha dari Allah Swt.



DAFTARA PUSTAKA

A W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progresif)
Forum Komunikasi ITB salafyitb.wordpress.com/2007/01/04/riya-datangsetelah-amal-selesai
Muhyiddin Abi Zakariya, Al-Azka.r Indonesia: Daru Ihya Al-Kutub
Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Syekh M. Nawawi, Syapinatunnaja, Surabaya Indonesia: Maktabah Muhammad Ibn Ahamd Nibhan Waauladihi

[1] Rachmat Syafe’I, Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal 55
[2]   Ibid hal 56
[3] Syekh A’bdul Mu’ty, ketika menyajikan perkuliyahan di UIN SGD pada kelas reguler jur PBA menyatakan dalam kalimat bahasa Arab yaitu النية تفرق بين العادة والعبادة
[4]  Syekh M. Nawawi hal 19
[5] Ibid hal 57
[6] A.W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progresif) Hal 359 th 2002
[7] Ibid hal 461
[8] Forum Komunikasi ITB salafyitb.wordpress.com/2007/01/04/riya-datangsetelah-amal-selesai/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar