PENDAHULUAN
Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang
diberikan mandat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan fungsinya dan menjaga kesetabilan bumi untuk
mensejahterakan satu sama lainnya.
Namun disatu sisi manusia juga dianugerahi
a’qal dan fikiran oleh Allah Swt sebagai media pemecahan masalah yang terjadi
dan untuk digunakan seoptimal mungkin demi terwujudnya sebuah keharmonisan.
Walaupun manusia mempunyai a’qal dan fikiran namun tidak serta merta manusia
itu terbebas untuk melakukan hal yang semena-mena tanpa menghiraukan kewajiban
yang Allah telah perintahkan.
Diantara kewajiban yang Allah perintahkan
kepada makhluk adalah taubat, dan Al-Quran memberi perhatian yang besar
terhadap taubat dalam banyak ayat-ayat yang tersebar dalam surah-surah Makkiah
atau Madaniah. Di antara perintah yang paling tegas untuk melaksanakan taubat
dalam Al-Quran adalah firman Allah Swt pada QS. At Tahrim ayat 8.
Taubat merupakan syarat utama dalam melakukan
ibadah, tanpa diiringi dengan taubat maka ibadah kita masih tergolong rendah,
bahkan bisa jadi tidak diterima. Dalam aplikasinya, taubat juga bermacam-macam
adanya hal ini berarti taubat memiliki tingkatan yang tak terlepas dari
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang berlandaskan pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Untuk lebih mengetahui bagaimana sesungguhnya
taubat yang akan diterima oleh Allah Swt berikut dengan syarat-syarat serta
tingkatannya, maka akan penulis bahas pada bab selanjutnya.
BAB II
TAUBAT DALAM AL-QUR’AN SURAT AT-TAHRIM AYAT 8
A. Taubat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ
سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ
لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٨)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb
Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
taubat
yang semurni-murninya
|
تَوْبَةً نَصُوحًا
|
Mudah-mudahan
Rabbmu
|
عَسَى رَبُّكُمْ
|
Jamak dari جنة yang artinya surge
|
جَنَّاتٍ
|
Jamak dari نهر yang
artinya sungai-sungai
|
الأنْهَارُ
|
Sempurnakanlah
|
أَتْمِمْ
|
1.
Tinjauan Bahasa
2.
Penjelasan Ayat
Taubat merupakan anjuran dan perintah dari Allah Swt terhadap
makhluk-Nya. Hal ini dapat kita lihat dari redaksi ayat yang berbunyi Tubu, yang
berarti bertaubatlah. Allah maha tahu terhadap kondisi dan posisi
makhluknya yang selalu berbuat ingkar dan membangkang terhadap apa-apa yang
diperintahkan pada kehidupan sehari-hari, maka pantas ayat tersebut redaksinya
bertambah menjadai taubatan nasuha, yang menunjukkan bahwa taubat itu
harus dilakukan dengan cara totalitas tidak setengah-setengah. Taubat nasuha
merupakan taubat yang sesungguhnya (taubat yang benar)[1] yang
pantas kita lakukan untuk kembali menuju jalan Allah Swt dan berusaha
meninggalkan perbuatan sebelumnya yang orientasinya tidak relevan atas apa yang
telah Allah perintahkan untuk tidak kita lakukan pada kehidupan sehari-hari.
Ini adalah perintah
yang lain dari Allah SWT dalam Al Quran kepada manusia untuk melakukan taubat
dengan taubat nasuha: yaitu taubat yang bersih dan benar. Perintah Allah SWT
dalam Al Quran itu menunjukkan wajibnya pekerjaan ini, selama tidak ada
petunjuk lain yang mengindikasikan pengertian selain itu. Sementara dalam ayat
itu tidak ada petunjuk yang lain itu. Oleh karena itu, hendaknya seluruh kaum
mu'min berusaha untuk menggapai dua hal atau dua tujuan yang pokok ini. Yaitu:
1)
Menghapuskan dosa-dosa
2)
Masuk ke dalam surga.
Seluruh individu
muslim amat membutuhkan dua hal ini:
Pertama: agar
kesalahannya dihapuskan, dan dosa-dosanya diampunkan. Karena manusia,
disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan
dosa-dosa. Itu bermula dari kenyatan elemen pembentukan manusia tersusun dari
unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit.
Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang
pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk
lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat
atau lebih tinggi lagi.
Oleh karena itu,
manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Dengan kenyataan itu ia
membutuhkan taubat yang utuh, sehingga ia dapat menghapus kesalahan yang
diperbuatnya.
Kedua: agar
ia dapat masuk surga. Siapa yang tidak mau masuk surga? Pemikiran yang paling
berat menghantui manusia adalah: akan masuk kemana ia nantinya di akhirat. Ini
adalah masalah ujung perjalanan manusia yang paling penting: apakah ia akan
selamat di akhirat atau binasa? Apakah ia akan menang dan bahagia ataukah ia
akan mengalami kebinasaaan dan penderitaan? Keberhasilan, kemenangan dan
kebahagiaan adalah terdapat dalam surga. Sedangkan kebinasaan, kekecewaan serta
penderitaan terdapat dalam neraka:
فَمَنْ زُحْزِحَ
عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا
مَتَاعُ الْغُرُورِ (١٨٥)
Artniya "Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga maka sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (QS. Ali Imran: 185.).
Taubat adalah akhlak terpuji yang harus menghiasi setiap pribadi
muslim. Orang yang taubat karena takut azab
Allah disebut isim fa’il dari taba[2].
Taubat secara harfiah berasal dari akar kata taba, yatubu, tauban wataubatan
yang artinya bermaksud, berjanji, bersumpah untuk tidak mengerjakan[3].
Jadi taubat menurut bahasa adalah berjanji dan mengi’tikad diri untuk tidak
mengerjakan kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Sementara menurut
istilah sebagaimana penulis kutip dari perkataan ulama[4]
yaitu: menghindari dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa pada waktu yang akan
datang serta menyesali atas perbuatan dosa dan beri’tikad untuk tidak melakukan
kembali. Sementara dalam kitab Kifayatul At-Kiya’[5]
dikatakan bahwa taubat adalah kembali dari perbuatan yang tercela menurut syara’
menuju perbuatan yang terpuji.
Orang bertaubat kepada Allah adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju
sesuatu; kembli dari sifat– sifat tercela menuju sifat terpuji, kembali dari
larangan Allah menuju perintahnya, kembali dari segala yang dibenci Allah
menuju yang diridhainya, kembali dari saling bertentangan menuju saling menjaga
persatuan, kembali kepada Allah setelah meninggalkannya dan kembali berbuat ta’at
setelah melanggarnya kembali.
Taubat
merupakan modal untuk menutupi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan dan
bentuk investasi kita dimasa panjang kelak yakni akhirat, hal ini adalah suatu
usaha melakukan perubahan tarap hidup karena dengan taubat akan berbuah balasan
berupa syurga dari Allah Swt yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang
bertaubat sebagaimana pada ayat Al-Qur’n
diats yakni: memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.
Akan tetapi
bentuk taubat seperti apakah yang bisa menghasilkan buah manis tersebut
sehingga kita bisa memperolehnya kelak di akhirat?. Tentu hal ini sangat
berkaitan sekali dengan ayat yang disebutkan sebelumnya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Redaksi
ayat tersebut menjawab kepada kita dengan sesungguhnya, bahwa taubat itu ada
tingkatan-tingkatnnya, sementara taubat yang akan diterima oleh Allah dan
memberikan peluang untuk memasuki syurga adalah Taubat nasuha.
Pada dasarnya
manusia sering melakukan kesalahan dan bahkan tak ada satu orang pun yang
terlepas dari kesalahan dan dosa, maka langkah untuk memperbaiki cara yang terbaik
hanya dengan melakukan taubat hal ini tercermin dari hadis Nabi Muhammad SAW
كُلُّ بَنِى آدَمٍ خَطَاءٌ
وَخَيرُ الْخَاطِئين التَّوَّابُوْن[6]
Artinya: setiap bani adam mempunyai
kesalahan dan sebaik-baiknya bentuk kesalahan dilakukan dengan bertaubat.
Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang
baik bagi manusia yang bersih dari perbuatan-perbuatan tercela dan dosa bahkan
sudah ada jaminan dari Allah untuk masuk surga tetap melakukan taubat dan
menganjurkan terhadap ummatnya supaya kembali kepada jalan Allah dengan
melaksankan taubat, sebagaiman sabdanya:
يَأَيُّهَا
النَّاس تُوْبُوْا إِلَى اللَّه فَإِنّي اَتُوْبُ إِلَيْهِ في الْيَوْم مِائَةَ
مَرَّةٍ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman
bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya saya bertaubat kepada-Nya
seratus kali setiap hari.
B. Tingkatan Taubat
Pada pembahasan di atas telah Penulis katakan bahwa
taubat itu memiliki tingkatan[7],
dan tingkatan itu diantaranya sebagai berikut
Pertama:
bertaubatnya seseorang dan istiqomahnya ia di jalan Allah hingga akhir
hayatnya.Sehingga ia disebut As-Sabiq Bil Khairat yang artinya mampu merubah
perilaku buruk dengan kebaikan. inilah taubat yang sebenarnya/Taubat Nasuha
yang insyaAllah akan mendapat ridho Allah dalam kehidupannya baik di dunia
maupun di akherat.
Kedua:
Orang yang bertaubat dari dosa besar,tetapi dalam perjalanan taubatnya selalu
mendapat ujian hingga tidak sengaja ia terjatuh dalam dosa,tetapi hatinya
senantiasa sedih dan menyesal sehingga ia berusaha memperbarui tindakannya
dengan memperbaiki niatnya.
Ketiga:
orang yang bertaubat
untuk beberapa lama tapi kemudian hawa nafsu mengalahkannya sehingga ia berbuat
dosa lagi.Namun demikian ia masih mau melakukan amal shaleh,ia masih meminta
pertolongan Allah agar mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Keempat:
orang yang bertaubat hanya sebentar saja,tapi kemudian berbuat dosa lagi tanpa
dibarengi penyesalan sedikitpun,bagaikan orang lalai bahwa ia telah
bertaubat.Pada tingkatan ini ditakutkan orang bisa meninggal dalam keadaan
su’ul khatimah.Yaitu ajal menjemputnya saat ia melakukan dosa, bukan saat ia
bertaubat.Naudzubillah.
C.
Syarat-Syarat
Taubat
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia
yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali,
akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat
kesalahan dia langsung bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat.
Bukan sekedar taubat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa
kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima? Dalam kitab kifayatul
atkiya[8]
dikemukakan beberapa syarat taubat supaya bisa sah dan diterima oleh Allah.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah
1)
Menyesal
Menyesal
merupakan syarat pertama yang harus kita lakukan ketika kita mau bertaubat,
menyesali atas segala sesuatu yang telah kita perbuat yang bertentangan dangan
aturan syara’. Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap
dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa
ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus
menerus melakukannya
2)
Bertekad untuk tidak
mengulangi
Melakukan
penyesalan saja tidak cukup, karena penyesalan kadang-kadang hanya keluar dari
lisan semata tanpa ada upaya untuk melakukan perubahan terlebih jika kita sudah
pernah melakukan kesalahan yang sangat dilarang oleh Agama, dan hal yang perlu kita lakukan adalah
bertekad untuk tidak mengulangi kembali apa-apa yang telah kita lakukan pada
masa sebelumnya.
3)
Menajuhi dari
perbuatan dosa
Hidup
didunia memang syarat dengan noda dan dusta yang mungkin sangat susah kita
hindari, namun ketika kita hendak memperbaikinya maka kita harus menjauhi dari
hal-hal tersebut yang dapat menghalangi kita terhadap Rhamat dan Maghfirah dari
Allah Swt.
4)
Melepaskan hak-hak
bani adam
Jika
dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus
ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan,
seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah
dia rusakkan atau curi dan sebagainya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
bani adam bisa gugur dan lepas apabila sudah ada keikhlasan dari satu sama
lainnya sebagaimana sabda Nabi SAW
حُقُْوْقُ أَدَمِيِّ مَسْقُوْقَةٌ
بِالرِّضَى
Artinya: hak-hak anak adam bisa gugur
apabila sudah ada ridha (ikhlas)
BAB III
KESIMPULAN
Memang
manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah
manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang
terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat
kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat.
Hakikat
taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari berbuat maksiat kepada-Nya menuju
kepada kebaikan dan merubah diri secara totalitas tidak hanya terucap pada
lisan melainkan juga diiringi dengan perbuatan. Taubat merupakan jalan utama
yang harus dilalui oleh seorang mukmin dalam melaksanakan ibadah sehari-hari.
Taubat
tak cukup hanya melakukan sebuah penyesalan, tapi harus ada upaya untuk merubah
gaya hidup yang tadinya masih melakukan kesalahan menjadi tidak melakukan
sebuah kesalahan kembali dilain waktu. Melakukan taubat harus sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu dengan syarat-syarat tertentu.
Taubat
merupakan suatu perintah yang telah di perintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, namun
taubat yang murni yang tidak tercampuri oleh hal-hl lain atau taubat nasuha
yang akan diterima oleh Allah, serta orang-orang yang bertaubat akan diberi
hadiah yang setimbal berupa surga kelak di akhirat.
Taubat nasuha adalah taubat yang benar dengan segala
usaha untuk kembali kepada Allah, bertekad meninggalkan hal-hal yang tercela
menuju pada perbuatan yang terpuji serta melepaskan hak-hak bani adam dengan
cara mengembalikannya dan sesuai dengan metode yang telah Allah tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adib
Bisri dkk, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999)
A
W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002)
Al-Imam
Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-karim. (Dar Al-Fikr, TP)
Sayyid Abi
Bakr Al-Ma’ruf, Kifayatl At-Kiya’, (Indonesia: Dar Al-Ihya, TP)
Utsman bin
Hasan bi Ahmad As-Syakir, Durratunnasihin, (Dar Al-Kutb, 1949 M)
Seykh
Nawawi, Al-Azkar An-Nawawi, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-Kutb Al-‘Arabiyah,
676 M)
rohisofsmega.blogspot.com/.../tingkatan-taubat-menurut-imam-ghaza
[1] . Al-Imam Ibn Katsir, Tafsir
Al-Quran Al-Karim jilid 4, (Dar Al-fkri, TP) hal 471
[2]. Adib Bisri dkk, Al-Bisri Kamus
Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999) hal 53
[3] . A.W. Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002) hal 140
[4] . Ibid hal 471
[5] . Sayyid Abi Bakr Al-Ma’ruf
(Dar Ihya’I Al-Kutb Al-A’rabiyah) hal 14
[6] . Utsman Bin Hasan, Durratunnasihin,
(Dar Al-Kutb Al-Islami, 1949 M) hal38
[7] . Tingkatan taubat menurut
Al-Ghazali yang di kutip dari rohisofsmega.blogspot.com/.../tingkatan-taubat-menurut-imam-ghaza
[8] . ibib hal 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar