Selasa, 29 November 2011

Taubat

BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang diberikan mandat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan fungsinya dan menjaga kesetabilan bumi untuk mensejahterakan satu sama lainnya.
Namun disatu sisi manusia juga dianugerahi a’qal dan fikiran oleh Allah Swt sebagai media pemecahan masalah yang terjadi dan untuk digunakan seoptimal mungkin demi terwujudnya sebuah keharmonisan. Walaupun manusia mempunyai a’qal dan fikiran namun tidak serta merta manusia itu terbebas untuk melakukan hal yang semena-mena tanpa menghiraukan kewajiban yang Allah telah perintahkan.
Diantara kewajiban yang Allah perintahkan kepada makhluk adalah taubat, dan Al-Quran memberi perhatian yang besar terhadap taubat dalam banyak ayat-ayat yang tersebar dalam surah-surah Makkiah atau Madaniah. Di antara perintah yang paling tegas untuk melaksanakan taubat dalam Al-Quran adalah firman Allah Swt pada QS. At Tahrim ayat 8.
Taubat merupakan syarat utama dalam melakukan ibadah, tanpa diiringi dengan taubat maka ibadah kita masih tergolong rendah, bahkan bisa jadi tidak diterima. Dalam aplikasinya, taubat juga bermacam-macam adanya hal ini berarti taubat memiliki tingkatan yang tak terlepas dari syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Untuk lebih mengetahui bagaimana sesungguhnya taubat yang akan diterima oleh Allah Swt berikut dengan syarat-syarat serta tingkatannya, maka akan penulis bahas pada bab selanjutnya.





BAB II
TAUBAT DALAM AL-QUR’AN SURAT AT-TAHRIM AYAT 8

A.  Taubat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٨)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
taubat yang semurni-murninya
تَوْبَةً نَصُوحًا
Mudah-mudahan Rabbmu
عَسَى رَبُّكُمْ
Jamak dari جنة yang artinya surge
جَنَّاتٍ
Jamak dari نهر yang artinya sungai-sungai
الأنْهَارُ
Sempurnakanlah
أَتْمِمْ
1.      Tinjauan Bahasa

2.      Penjelasan Ayat
Taubat merupakan anjuran dan perintah dari Allah Swt terhadap makhluk-Nya. Hal ini dapat kita lihat dari redaksi ayat yang berbunyi Tubu, yang berarti bertaubatlah. Allah maha tahu terhadap kondisi dan posisi makhluknya yang selalu berbuat ingkar dan membangkang terhadap apa-apa yang diperintahkan pada kehidupan sehari-hari, maka pantas ayat tersebut redaksinya bertambah menjadai taubatan nasuha, yang menunjukkan bahwa taubat itu harus dilakukan dengan cara totalitas tidak setengah-setengah. Taubat nasuha merupakan taubat yang sesungguhnya (taubat yang benar)[1] yang pantas kita lakukan untuk kembali menuju jalan Allah Swt dan berusaha meninggalkan perbuatan sebelumnya yang orientasinya tidak relevan atas apa yang telah Allah perintahkan untuk tidak kita lakukan pada kehidupan sehari-hari.
Ini adalah perintah yang lain dari Allah SWT dalam Al Quran kepada manusia untuk melakukan taubat dengan taubat nasuha: yaitu taubat yang bersih dan benar. Perintah Allah SWT dalam Al Quran itu menunjukkan wajibnya pekerjaan ini, selama tidak ada petunjuk lain yang mengindikasikan pengertian selain itu. Sementara dalam ayat itu tidak ada petunjuk yang lain itu. Oleh karena itu, hendaknya seluruh kaum mu'min berusaha untuk menggapai dua hal atau dua tujuan yang pokok ini. Yaitu:
1)         Menghapuskan dosa-dosa
2)         Masuk ke dalam surga.
Seluruh individu muslim amat membutuhkan dua hal ini:
Pertama: agar kesalahannya dihapuskan, dan dosa-dosanya diampunkan. Karena manusia, disebabkan sifat kemanusiaannya, tidak mungkin terbebas dari kesalahan dan dosa-dosa. Itu bermula dari kenyatan elemen pembentukan manusia tersusun dari unsur tanah yang berasal dari bumi, dan unsur ruh yang berasal dari langit. Salah satunya menarik ke bawah sementara bagian lainnya mengajak ke atas. Yang pertama dapat menenggelamkan manusia pada perangai binatang atau lebih buruk lagi, sementara yang lain dapat mengantarkan manusia ke barisan para malaikat atau lebih tinggi lagi.
Oleh karena itu, manusia dapat melakukan kesalahan dan membuat dosa. Dengan kenyataan itu ia membutuhkan taubat yang utuh, sehingga ia dapat menghapus kesalahan yang diperbuatnya.
Kedua: agar ia dapat masuk surga. Siapa yang tidak mau masuk surga? Pemikiran yang paling berat menghantui manusia adalah: akan masuk kemana ia nantinya di akhirat. Ini adalah masalah ujung perjalanan manusia yang paling penting: apakah ia akan selamat di akhirat atau binasa? Apakah ia akan menang dan bahagia ataukah ia akan mengalami kebinasaaan dan penderitaan? Keberhasilan, kemenangan dan kebahagiaan adalah terdapat dalam surga. Sedangkan kebinasaan, kekecewaan serta penderitaan terdapat dalam neraka:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (١٨٥)
Artniya "Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (QS. Ali Imran: 185.).
Taubat adalah akhlak terpuji yang harus menghiasi setiap pribadi muslim. Orang yang taubat karena takut azab Allah disebut isim fa’il dari taba[2]. Taubat secara harfiah berasal dari akar kata taba, yatubu, tauban wataubatan yang artinya bermaksud, berjanji, bersumpah untuk tidak mengerjakan[3]. Jadi taubat menurut bahasa adalah berjanji dan mengi’tikad diri untuk tidak mengerjakan kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Sementara menurut istilah sebagaimana penulis kutip dari perkataan ulama[4] yaitu: menghindari dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa pada waktu yang akan datang serta menyesali atas perbuatan dosa dan beri’tikad untuk tidak melakukan kembali. Sementara dalam kitab Kifayatul At-Kiya’[5] dikatakan bahwa taubat adalah kembali dari perbuatan yang tercela menurut syara’ menuju perbuatan yang terpuji.
Orang bertaubat kepada Allah adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembli dari sifat– sifat tercela menuju sifat terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintahnya, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhainya, kembali dari saling bertentangan menuju saling menjaga persatuan, kembali kepada Allah setelah meninggalkannya dan kembali berbuat ta’at setelah melanggarnya kembali.
Taubat merupakan modal untuk menutupi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan dan bentuk investasi kita dimasa panjang kelak yakni akhirat, hal ini adalah suatu usaha melakukan perubahan tarap hidup karena dengan taubat akan berbuah balasan berupa syurga dari Allah Swt yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertaubat sebagaimana  pada ayat Al-Qur’n diats yakni: memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Akan tetapi bentuk taubat seperti apakah yang bisa menghasilkan buah manis tersebut sehingga kita bisa memperolehnya kelak di akhirat?. Tentu hal ini sangat berkaitan sekali dengan ayat yang disebutkan sebelumnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
Redaksi ayat tersebut menjawab kepada kita dengan sesungguhnya, bahwa taubat itu ada tingkatan-tingkatnnya, sementara taubat yang akan diterima oleh Allah dan memberikan peluang untuk memasuki syurga adalah Taubat nasuha.
Pada dasarnya manusia sering melakukan kesalahan dan bahkan tak ada satu orang pun yang terlepas dari kesalahan dan dosa, maka langkah untuk memperbaiki cara yang terbaik hanya dengan melakukan taubat hal ini tercermin dari hadis Nabi Muhammad SAW
                 كُلُّ بَنِى آدَمٍ خَطَاءٌ وَخَيرُ الْخَاطِئين التَّوَّابُوْن[6]
Artinya: setiap bani adam mempunyai kesalahan dan sebaik-baiknya bentuk kesalahan dilakukan dengan bertaubat.
Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang baik bagi manusia yang bersih dari perbuatan-perbuatan tercela dan dosa bahkan sudah ada jaminan dari Allah untuk masuk surga tetap melakukan taubat dan menganjurkan terhadap ummatnya supaya kembali kepada jalan Allah dengan melaksankan taubat, sebagaiman sabdanya:
يَأَيُّهَا النَّاس تُوْبُوْا إِلَى اللَّه فَإِنّي اَتُوْبُ إِلَيْهِ في الْيَوْم مِائَةَ مَرَّةٍ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya saya bertaubat kepada-Nya seratus kali setiap hari.

B.       Tingkatan Taubat
Pada pembahasan di atas telah Penulis katakan bahwa taubat itu memiliki tingkatan[7], dan tingkatan itu diantaranya sebagai berikut
Pertama: bertaubatnya seseorang dan istiqomahnya ia di jalan Allah hingga akhir hayatnya.Sehingga ia disebut As-Sabiq Bil Khairat yang artinya mampu merubah perilaku buruk dengan kebaikan. inilah taubat yang sebenarnya/Taubat Nasuha yang insyaAllah akan mendapat ridho Allah dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akherat.
Kedua: Orang yang bertaubat dari dosa besar,tetapi dalam perjalanan taubatnya selalu mendapat ujian hingga tidak sengaja ia terjatuh dalam dosa,tetapi hatinya senantiasa sedih dan menyesal sehingga ia berusaha memperbarui tindakannya dengan memperbaiki niatnya.
Ketiga: orang yang bertaubat untuk beberapa lama tapi kemudian hawa nafsu mengalahkannya sehingga ia berbuat dosa lagi.Namun demikian ia masih mau melakukan amal shaleh,ia masih meminta pertolongan Allah agar mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Keempat: orang yang bertaubat hanya sebentar saja,tapi kemudian berbuat dosa lagi tanpa dibarengi penyesalan sedikitpun,bagaikan orang lalai bahwa ia telah bertaubat.Pada tingkatan ini ditakutkan orang bisa meninggal dalam keadaan su’ul khatimah.Yaitu ajal menjemputnya saat ia melakukan dosa, bukan saat ia bertaubat.Naudzubillah.

C.        Syarat-Syarat Taubat
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar taubat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima? Dalam kitab kifayatul atkiya[8] dikemukakan beberapa syarat taubat supaya bisa sah dan diterima oleh Allah. Diantara syarat-syarat tersebut adalah
1)      Menyesal
Menyesal merupakan syarat pertama yang harus kita lakukan ketika kita mau bertaubat, menyesali atas segala sesuatu yang telah kita perbuat yang bertentangan dangan aturan syara’. Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya
2)      Bertekad untuk tidak mengulangi
Melakukan penyesalan saja tidak cukup, karena penyesalan kadang-kadang hanya keluar dari lisan semata tanpa ada upaya untuk melakukan perubahan terlebih jika kita sudah pernah melakukan kesalahan yang sangat dilarang oleh  Agama, dan hal yang perlu kita lakukan adalah bertekad untuk tidak mengulangi kembali apa-apa yang telah kita lakukan pada masa sebelumnya.
3)      Menajuhi dari perbuatan dosa
Hidup didunia memang syarat dengan noda dan dusta yang mungkin sangat susah kita hindari, namun ketika kita hendak memperbaikinya maka kita harus menjauhi dari hal-hal tersebut yang dapat menghalangi kita terhadap Rhamat dan Maghfirah dari Allah Swt.
4)      Melepaskan hak-hak bani adam
Jika dosa tersebut berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan sebagainya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan bani adam bisa gugur dan lepas apabila sudah ada keikhlasan dari satu sama lainnya sebagaimana sabda Nabi SAW
حُقُْوْقُ أَدَمِيِّ مَسْقُوْقَةٌ بِالرِّضَى
Artinya: hak-hak anak adam bisa gugur apabila sudah ada ridha (ikhlas)



BAB III
KESIMPULAN
Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat.
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari berbuat maksiat kepada-Nya menuju kepada kebaikan dan merubah diri secara totalitas tidak hanya terucap pada lisan melainkan juga diiringi dengan perbuatan. Taubat merupakan jalan utama yang harus dilalui oleh seorang mukmin dalam melaksanakan ibadah sehari-hari.
Taubat tak cukup hanya melakukan sebuah penyesalan, tapi harus ada upaya untuk merubah gaya hidup yang tadinya masih melakukan kesalahan menjadi tidak melakukan sebuah kesalahan kembali dilain waktu. Melakukan taubat harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu dengan syarat-syarat tertentu.
Taubat merupakan suatu perintah yang telah di perintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, namun taubat yang murni yang tidak tercampuri oleh hal-hl lain atau taubat nasuha yang akan diterima oleh Allah, serta orang-orang yang bertaubat akan diberi hadiah yang setimbal berupa surga kelak di akhirat.
 Taubat nasuha adalah taubat yang benar dengan segala usaha untuk kembali kepada Allah, bertekad meninggalkan hal-hal yang tercela menuju pada perbuatan yang terpuji serta melepaskan hak-hak bani adam dengan cara mengembalikannya dan sesuai dengan metode yang telah Allah tetapkan.








DAFTAR PUSTAKA

Adib Bisri dkk, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999)
A W. Munawwir, kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002)
Al-Imam Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-karim. (Dar Al-Fikr, TP)
Sayyid Abi Bakr Al-Ma’ruf, Kifayatl At-Kiya’, (Indonesia: Dar Al-Ihya, TP)
Utsman bin Hasan bi Ahmad As-Syakir, Durratunnasihin, (Dar Al-Kutb, 1949 M)
Seykh Nawawi, Al-Azkar An-Nawawi, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-Kutb Al-‘Arabiyah, 676 M)
rohisofsmega.blogspot.com/.../tingkatan-taubat-menurut-imam-ghaza



[1] . Al-Imam Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Karim jilid 4, (Dar Al-fkri, TP) hal 471
[2].  Adib Bisri dkk, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999) hal 53
[3] . A.W. Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002) hal 140
[4] . Ibid hal 471
[5] . Sayyid Abi Bakr Al-Ma’ruf (Dar Ihya’I Al-Kutb Al-A’rabiyah) hal 14
[6] . Utsman Bin Hasan, Durratunnasihin, (Dar Al-Kutb Al-Islami, 1949 M) hal38
[7] . Tingkatan taubat menurut Al-Ghazali yang di kutip dari rohisofsmega.blogspot.com/.../tingkatan-taubat-menurut-imam-ghaza
[8] . ibib hal 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar